Senin, 25 Juni 2012

Makalah Gender dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gender, merupakan istilah yang baru dalam islam, karena sesungguhnya gender sendiri merupakan suatu istilah yang muncul di barat pada sekitar ± tahun 1980. Digunakan pertama kali pada sekelompok ilmuan wanita yang juga membahas tentang peran wanita saat itu. Islam sendiri tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama.
Hal itu sesuai dengan mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang kami dapat, yang kemudian kami diskusikan sekelompok dengan menggali beberapa pengetahuan dari berbagai referensi yang mendukung dan berkaitan hal tersebut, “Gender Dalam Islam”, dari tema tersebut kemudian muncul judul makalah yang berjudulkan “Tantangan Keadilan Gender Dalam Islam”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dijadikan ukuran dalam makalah ini antar lain sebagai berikut :
1. Apa pengertian  gender?
2. Apa konsep-konsep gender?
3. Meliputi apa saja permasalahan gender?
4. Seperti apa ketidakadilan gender itu?
5. Apakah gender dalam islam itu?





C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian gender dalam berbagai aspek.
2. Untuk mengetahui konsep- konsep gender.
3. Mengetahui segala permasalahan yang bekaitan dengan gender.
4. Mencari kebenaran tentang keadilan dalam gender.
5. Memperluas pengetahuan gender dalam pandangan islam.





















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian  Gender
Secara etimologis, gender itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau tipe (androsexo, Google.com). Sedang dalam Kamus Bahasa Inggris dan Indonesia mempunyai arti “jenis kelamin” (kamus kontemporer, 2001:186), Sedang dalam kamus Bahasa Arab kata yang di artikan sebagai gender sendiri mengalami banyak perdebatan/penolakan dikalangan cendekiawan ataupun ulama’ islam sendiri, karena sesungguhnya kata tersebut bukanlah berasal dari akar kata bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Yunani (Androsexo, Google.com).
Sedangakan secara terminologis gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi budaya dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan. Dan kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti. Menurut Women’s Studies Encyclopedia dalam buku Din Al-Islam, gender berarti suatu konsep kultur yang berupaya membuat perbedaan dalam hal pesan, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyararakat (Vita Fitria, 2008:160).
Gender diartikan pula sebagai perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).
Dalam pandangan lain, gender diartikan sebagai himpunan luas karakteristik yang terlihat untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, membentang dari seks biologis, pada manusia, peran sosial seseorang atau identitas gender.
Gender itu sendiri merupakan kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu. Tidak hanya itu, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan, dan seakan-akan kita menganggapnya sebagai kodrat.
Contohnya di sekolah dasar, yang mana dalam buku bacaan pelajaran juga digambarkan peran-peran jenis kelamin, seperti “Bapak membaca koran, sementara Ibu memasak di dapur”. Peran-peran hasil bentukan sosial-budaya inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan dengan jenis kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas” dilakukan sebagai seorang laki-laki atau perempuan.
Dari beberapa difinisi tersebut, perlu dipahami bahwa untuk memahami konsep gender harus di bedakan kata gender dengan kata sex. Meskipun secara etimologis mempunyai arti yang sama yaitu jenis kelamin, namun secara konseptual, dua hal tersebut sangatlah berbeda. Secara umun sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis, yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya (Vita Fitria, 2008:161).
Seks merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun, penis, dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala. Sedangkan gender menyangkut perbedaan fungsi, dan peran (Nasaruddin Umar, 2002:15).

Berikut table perbedaan antara gender dengan sex :
Gender
Seks (jenis kelamin)
-       Bisa berubah
-       Dapat dipertukarkan
-       tergantung musim
-       tergantung budaya masing- masing
-       Bukan kodrat (buatan masyarakat)

-       Tidak bisa berubah
-       Tidak dapat dipertukarkan
-       Berlaku sepanjang masa
-       Berlaku di mana saja
-       Kodrat (ciptaan Tuhan): perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui.


Dalam teori nurture dijelaskan tentang adanya perbedaan perempuan dan laki-laki, namun pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. Konsep-Konsep Gender
Agama mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid sesungguhnya.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan ayat Al-Qur’an atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya Al-Qur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Dalam buku karangan Mansur Fakih dijelaskan, bahwa Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat atau aktifitas perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kelas ke kelas lain, itulah yang kemudian di kenal dengan konsep gender (Vita Fitria, 2008:162).
Sebenarnya kondisi ini tidak ada salahnya. tetapi akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena tidak semua laki-laki mampu bersikap tegas dan bisa ngatur, maka laki-laki yang lembut akan dicap banci. Sedangkan jika perempuan lebih berani dan tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal ini tidak  cocok dan memberikan tekanan.
Dengan demikian, keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya). Dalam surat An-Nahl (16): 97;
 Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Dan dalam surat al-qur’an yang lain pun juga di jelaskan, diantaranya yaitu surat Al-A’raf (7): 22, 165, dan 172.
Ayat-ayat tersebut diatas mengisyaratkan tentang konsep kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yan sama meraih prestasi yang optimal.
Dalam Al-Qur’an sendiri sudah dijelaskan dengan tujuannya, yaitu mengharapkan terwujudnya keadilan bagi masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin.

C. Permasalahan Gender
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi persoalan sepanjang tidak memunculkan ketidakadilan, namun perlu diperhatikan juga mengenai terjadinya ketidakadilan gender (Vita Fitria, 2008:162).
Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah pihak, walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan.
Ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, diantaranya yaitu:
1. Stereotip/Citra Baku
Yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap perayu (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).
Sementara itu dalam buku lain diumpamakan stereotipe yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian laki-laki. Dalam buku karangan Mansur Fakih dikatakan bahwa setiap ada kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan selalu di kaitkan dengan stereotipe ini, yang berakbat, perempuanlah yang disalahkan oleh masyarakat (Vita Fitria, 2008:163).
2. Subordinasi/Penomorduaan
Yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang” (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).
3.  Marginalisasi/Peminggiran
Adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh lakilaki (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).
4. Beban Ganda/Double Burden
Yaitu suatu perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Mengapa Beban Ganda bisa terjadi? Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumah tangga. Karena itu, bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik, mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestic (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).
Dalam buku karangan Mansur Fakih dikatakan bahwa kaitanya ini belum terfikirkan bagaimana bila perempuan bekerja, otomatis beban kerja akan semakin berat, dan ahirnya ada pelimpahan kerja domestic worker (pekerja rumah tangga) yang mayoritas adalah kaum perempuan juga (Vita Fitria, 2008:164).


5. Kekerasan/Violence
Yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum (Sri Sundari Sasongko, 2009:7).


D. Ketidakadilan Gender/Bias Gender
Ketidakadilan gender itu biasanya dikaitkan karena adanya implementasi yang salah terhadap ajaran agama, dan juga di sebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan, budaya dan tradisi yang patriarkat didalam masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan (Abdul Mu’thi, 2002:54).
Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidakadilan terhadap perempuan adalah :
1. Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap  sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
2. Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka (Zuhad Masduki, 2002:26).
Bias gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran agama terkait pula dengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah, Pengertian Kosa Kata (Mufradat), dan lain-lain (Nasaruddin Umar, 2002:15).
Bias tersebut tercermin dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa Arab selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral (Nasaruddin Umar, 2002:16).
Sebagai pemakai bahasa Arab, teks Al-Qur’an juga mengikuti ketentuan ini, sehingga Allah sebagai Dzat yang tidak berjenis kelamin pun mempunyai nama yang berjenis kelamin, yaitu mudzakkar (laki-laki) sehingga memakai kata kerja laki-laki (fiil mudzakkar) (Nasaruddin Umar, 2002:17), sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(3)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Ketentuan lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung bias gender adalah isim muannats (nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan cara  menambahkan satu huruf (ta’ marbuthoh) pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, seperti kata ustadzah (guru perempuan) yang dibentuk dari kata ustadz (guru laki-laki), muslimah dari muslim, dan lain-lain. Tata bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab terhadap eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil) dari eksistensi laki-laki (Nasaruddin Umar, 2002:15-16).
Pengaruh cara pandang yang mengabaikan eksistensi perempuan ini dalam Al-Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Maidah (5):6)
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak ada satu ulama fiqh pun yang mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwasanya perempuan menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas tidak ada dan ketentuan untuk perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan laki-laki (Abdullah Mu’thi, 2002:93).
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (QS. Al-Nahl (16):90) keamanan dan ketentraman (QS. An-Nisa (4):58) mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (QS. Ali Imran (3):104). Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai Maqasid Al-Syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan denganprinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjaukembali.
Islam sejak awal menegaskan bahwa diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang harus dieliminir, dijelskan dalam surat An-Nisa’ (4):75:
 





Yang artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

E. Gender Dalam Islam
Dalam islam sebetulnya tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama. Contoh konkretnya adalah islam tidak membedakan laki-laki dan wanita dalam hal tingkatan takwa, dan surga juga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan perempuan yang bertakwa dan beramal sholeh.
Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam islam, sesungguhnya wanita dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-Qur’an ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri. Tak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing. Sebagaimana contoh ayat dibawah ini :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿النساء:١٩﴾
Artinya :
Pergaulilah mereka (istrimu) dengan baik (QS. An-Nisa’, (4):19)
Potongan ayat 19 surat An-Nisa’ di atas merupakan Kaidah Robbani yang baku yang ditujukan kepada kaum laki-laki yang di sebut kaum bapak agar berbuat baik kepada kaum wanita/ibu, baik dalam pergaulan domestik (rumah tangga) maupun masyarakat luas.
Apabila ditelaah atau dilihat lebih jauh, perlakuan dan anggapan masyarakat yang merendahkan wanita dan menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua sesungguhnya merupakan pengaruh cultural (kebudayaan) yang berlaku di masyarakat tertentu. Bukan berasal dari ajaran islam. Sebagai contoh adalah kultur atau budaya masyarakat jawa, terutama masyarakat zaman dulu yang menganggap bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu (sekolah) tinggi-tinggi, karena nantinya mereka hanya akan kembali ke dapur, juga anggapan bahwa wanita tugasnya 3M (macak, manak, masak) ataupun pandangan bahwa wanita akan ikut menanggung perbuatan suaminya (surga nunut neraka katut).
Dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan cultural yang merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestic (rumah tangga), pergaulan sosial ataupun dalam politik (Sri Suhandjati Sukri, 2002:116).
Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki-laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika di telaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam ayat tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan .
Kepada laki-laki. Ayat tersebut juga menjelaskan secara implisit bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan wanita, akan tetapi yang membedakan antara keduanya adalah dari segi fungsionalnya karena kodrat masing-masing. Seperti halnya yang dijelaskan dalam surat An-Nisa’ (4):34;
 kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Benar”. (QS. An-Nisa’, 4:34).
Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah nabi yang merupakan sumber utama ajaran islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia (Nasaruddin Umar, 2002:15). Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui mengenai kesetaraan gender dalam Al-Qur’an.
1.      Apa yang Dimaksud dengan Istilah "Gender"?
Gender adalah persoalan nonkodrati menyangkut pembedaan tugas, fungsi, dan peran yang diberikan oleh masyarakat/budaya terhadap laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial (Fatimah Usman, 2002:167).
Singkatnya, gender adalah jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar. Berbeda dengan seks yang merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan.
2.  Apakah Al-Qur’an mengatur tentang kesetaraan Gender?
Ya, dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi “Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat, manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.” Oleh karena itu Al-Quran tidak mengenal pembedaan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-Quran yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
a.       Tentang Hakikat Penciptaan Lelaki dan Perempuan
Surat Ar-Rum ayat 21;
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dan juga dijelaskan pula dalam surat An-Nisa ayat 1, surat Al-Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat-ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
b.      Tentang kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195 ;
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Dijelaskan pula dalam surat An-Nisa ayat 124, surat An-Nahl ayat 97, surat At-Taubah ayat 71-72, surat Al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
3. Apa saja Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an?
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di dalam Al-Qur’an, yakni:
a.       Perempuan  dan  Laki-laki sama-sama sebagai hamba, sebagaimana dalam surat Al-Zariyat, (51):56. Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau  kelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat, (49):13;
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
b.      Perempuan dan Laki-laki sebagai sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam surat Al-An’am, (6):165, dan Al-Baqarah, (2):30. Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah di bumi.
c.       Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam surat Al-A’raf, (7):172, yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin, di jelaskan dalam surat Al-Isra’ (17):70;
d.      Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
1) Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga, dijelaskan dalam surat Al-Baqarah (2):35;
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
2) Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan, dijelaskan dalam surat Al-A’raf, (7):20;
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".

3) Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, dijelaskan dalam surat Al-A’raf, (7):23;
Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
4) Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan, dijelaskan dalam surat Al-Baqarah, (2):187;
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
e. Perempuan dan Laki-laki sama-sama berpotensi meraih prestasi, peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: QS. Ali Imran, (3):195, QS. An-Nisa, (4):124, QS. An-Nahl, (16):97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.























BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil diskusi kelompok kami yaitu sebagai berikut :
1.    Gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secar sosial maupun cultural.
2.    Pengertian antara gender dan sex secara bahasa itu tidak ada perbedaan, namun secara istilah konteks gender dan sex itu beda.
3.    Dalam konsep gender itu lebih ditekankan pada aspek maskulinitas (laki-laki berjiwa jantan) dan feminitas (kewanitaan) seseorang, dan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat atau aktifitas perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kelas ke kelas lain itulah yang dikenal dengan konsep gender.
4.    Suatu permasalahan dalam persoalan perbedaan gender tidak akan pernah muncul sepanjang tidak memunculkan ketidakadilan (bias gender).
5.    Dalam Al-Qur’an kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
6.    Dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti harus didominasi oleh satu jenis kelamin.

B.     SARAN
Pada kehidupan masyarakat sekarang ini kerap terjadi tindak bias gender, sehingga kelompok kami berharap tindak ketidakadilan gender atau yang lebih tepat disebut dengan bias gender itu di hilangkan, karena secara langsung maupun tidak langsung itu akan berdampak pada lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan juga lingkungan pekerjaan.                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar