Minggu, 06 Mei 2012

Membangun Kultur dan Masyarakat Sekolah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan di era globalisasi menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat. Cepatnya perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat, di satu sisi dapat membawa kemajuan, namun juga sekaligus melahirkan kegelisahan pada masyarakat. Salah satu hal yang menggelisahkan adalah persoalan moral. Orang sepertinya tidak lagi memiliki pegangan akan norma-norma kebaikan. Dalam situasi ini, terutama dalam pendidikan, dibutuhkan sikap yang jelas arahnya dan norma-norma kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan tidak hanya dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan sosial yang ada, namun lebih dari itu, pendidikan juga dituntut untuk mampu mengantisipasi perubahan dalam menyiapkan generasi muda untuk mengarungi kehidupannya di masa yang akan datang.
Salah satu tantangan pendidikan masa depan adalah tetap berlangsungnya pendidikan nilai, supaya nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dalam perilaku, dapat ditransformasikan dari generasi ke generasi, khususnya dalam rangka menepis berbagai dampak negatif dari perubahan sosial. Namun dalam kenyataannya, seperti diungkapkan oleh Sudarminta (Atmadi, 2000:3) sungguhkah kegiatan pendidikan selama ini, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah sudah kita rancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan hidupnya di masa depan?. Institusi pendidikan, terutama sekolah, selama ini dianggap sebagai salah satu lembaga sosial yang paling konservatif dan statis dalam masyarakat. Sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering kurang mampu mengikuti dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi di masyarakat. Supaya kegiatan pendidikan mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidupnya di masa depan, harus diantisipasi (berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada), apa yang menjadi tantangan hidup mereka di masa depan.
Dalam skala mikro, paradigma lama yang dijadikan sebagai dasar praksis pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatian pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang dikembangkan secara sistematis dan pedagogis (Suyanto dalam Sismono, 2006:128). Supaya pendidikan bermakna bagi kehidupan siswa, maka dalam proses pendidikan, guru harus sanggup mengembangkan aspek kognitif siswa (menyangkut knowledge) dan afektif (menyangkut moral and social action) secara simultan.
Pendidikan tidak hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas dan terampil, tetapi juga menghasilkan pribadi yang memiliki nurani dan budi pekerti.Tanpa adanya integritas pribadi, kecerdasan dan ketrampilan bisa saja disalahgunakan untuk hal-hal yang merugikan. Untuk itu, disadari pentingnya pengembangan budi pekerti di pusat-pusat pendidikan, termasuk di sekolah.
Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas sekolah misalnya, sekurangnya ada tiga aspek pokok yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) proses belajar mengajar, 2) kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan 3) kultur sekolah (Oepdikbud, 1999:10). Dua hal yang disebut pertama sudah banyak menjadi fokus perhatian berbagai pihak yang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan. Namun faktor yang ketiga, yaitu kultur sekolah, belum banyak diangkat sebagai salah satu faktor yang menentukan, termasuk dalam upaya pengembangan moral siswa di sekolah.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, yang menjadi rumusan maslah adalah sebagai berikut:
1.      Apa deskripsi umum terkait kultur sekolah?
2.      Apa kultur sekolah
3.      Bagaimana membangun kultur masyarakat sekolah?
4.      Bagaimana garis besar untuk meningkatkan mutu sekolah
C.    Tujuan
Berdasrakan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Menjelaskan deskripsi umum dari kultur sekolah
2.      Menjelaskan kultur sekolah
3.      Menjelaskan cara-cara membangun kultur masyarakat sekolah
4.      Memaparkan bagaimana garis besar untuk meningkatkan mutu sekolah




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Umum
Sekolah sebagai satuan institusi pendidikan memiliki fungsi  strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Sebagai satuan terdepan  (the front liner), sekolah memiliki tugas merealisasikan rumusan-rumusan makro pengembangan SDM yang mengacu pada kriteria pemenuhan 8 standar nasional pendidikan ke dalam skala prioritas mikro pengembangan sekolah. Dalam mengusung visi dan misinya sebagai lembaga layanan publik untuk mencerdaskan anak bangsa, maka  diperlukan langkah-langkah kongkret pelaksanaan program sekolah, sehingga visi dan misi yang diusungnya tidak sekedar jargon figuratif etalase sekolah, dan yang dinilai paling fundamental adalah bagaimana program-program yang dilaksanakan tersebut mampu mengokohkan kultur sekolah (school attitude, school culture) dalam konteks upaya-upaya menumbuhkan kesadaran peka budaya belajar dan budaya mutu serta menciptakan masyarakat sekolah yang kondusif (condusive school society) yang dapat membentuk atmosfir pendidikan yang sehat di lingkungan sekolah.
Kultur sekolah pada dasarnya adalah suatu kondisi yang terbentuk dari seluruh sikap dan tindakan individu atau kelompok dalam komunitas sekolah yang cenderung untuk melakukan segala aktivitas berbasis belajar sehingga menjadi ciri, watak dan kebiasaan yang dimiliki. Kokohnya budaya sekolah diawali dengan membangun kesamaan persepsi bahwa sekolah yang didalamnya terdapat anggota komunitas interaktif kegiatan belajar mengajar adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan untuk membangun masyarakat yang berilmu, berbudaya dan berkeadaban (bermoral, beretika, dalam wujud karakter yang berakar kepada nilai-nilai agama, tradisi, adat dan kebiasaan positif) demi mewujudkan cita-cita dan harapan masa depan. Secara konseptual Deal dan Peterson (1999) menyampaikan teorinya bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, karyawan serta siswa sehingga menjadi ciri khas, karakter atau  watak yang dapat membentuk citra sekolah di masyarakat. Dilain pihak studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr menemukan adanya pengaruh dari lima dimensi budaya sekolah yaitu: tantangan akademik, prestasi, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan. Namun pada intinya penguatan budaya sekolah akan bermuara pada efektivitas pembelajaran yang tidak hanya didasarkan pada seberapa banyak ilmu pengetahuan dapat diserap oleh peserta didik, namun lebih ditekankan pada seberapa jauh ilmu pengetahuan tersebut dirasakan manfaatnya oleh peserta didik dalam wujud kompetensi yang teraplikasi ke dalam bentuk kecakapan hidup (life skills)   yang dapat dipergunakan di lapangan kehidupan nyata.
Saat ini kita perlu mencermati persoalan yang sedang dihadapi berkaitan dengan  desentralisasi pengelolaan pendidikan yang telah menempatkan sekolah sebagai unit utama basis peningkatan kualitas yang tentunya akan sangat berpengaruh pada perubahan kultur sekolah karena mekanisme kerja operasionalnya akan menitikberatkan pada pemberdayaan sekolah itu sendiri. Salah satunya adalah  dalam hal  orientasi kerja dimungkinkan akan mengakar dari inovasi- inovasi kreativitas  serta  mampu menghilangkan orientasi kerja yang serba instruktif (top down oriented) walaupun tampaknya sekolah belum mampu sepenuhnya mengembangkan ke arah itu  karena pengelolaan sekolah saat ini baru bersifat swa-manajemen (self managing school) yang dilaksanakan berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang masih sentralistik sehingga belum dapat membangun  penyelenggaraan secara mandiri (self governing school ). Oleh karenanya realitas sekolah masih berada  pada posisi pelaksana operasional kebijakan pendidikan atau user dari juknis juklak yang masih bersifat trial and error. Hal ini diasumsikan mungkin pemerintah belum bisa sepenuhnya memberikan kewenangan manajerial berkerangka manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk otonomi yang diamanatkan Undang-undang Sisdiknas karena infrastruktur sekolah  yang dinilai belum siap menyelenggarakannya.

B.     Kultur Sekolah
Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau institusi. Khusus dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah kultur yang dibangun adalah nilai-nilai atau norma-norma yang dianut dari generasi ke generasi.
Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya visi dan misi sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala.


1.      Kultur Sekolah yang Positif
Meliputi kegiatan-kegiatan yang mendukung (Pro) pada peningkatan kualitas pendidikan, misalnya:
a.       Kerjasama dalam mencapai prestasi, yang melibatkan: Kepala sekolah, guru, siswa, pegawai, komite sekolah.
b.      Penghargaan terhadap yang berprestasi, seperti: pujian, hadiah, sertifikat.
c.       Komitmen terhadap belajar yang dimiliki guru dan siswa.
d.      Interaksi antar warga sekolah yang hangat, harmonis, humanis
2.      Kultur Sekolah yang Negatif
Meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung (Kontra) pada peningkatan kualitas pendidikan, misalnya:
a.       Siswa takut berbuat salah: diancam, dihukum, diejek.
b.      Siswa takut bertanya ataupun mengemukakan pendapat: malu, tidak diberi kesempatan, takut dicemooh, takut pada guru.
c.       Siswa jarang melakukan kerjasama dalam memecahkan masalah: tidak dibiasakan oleh guru, dianggap tidak penting.
3.      Kultur Sekolah yang Netral
Kegiatan yang kurang berpengaruh positif maupun negatif pada peningkatan kualitas pendidikan, misalnya:
a.       arisan guru-guru di sekolah
b.      seragam guru
 Kebudayaan sekolah ialah a complex set of beliefs, values and traditions, ways of thinking and behaving yang membedakannya dari institusi-institusi lainnya(Vembriarto, 1993:82). Kebudayaan sekolah memiliki unsur-unsur penting, yaitu :
1.      Letak, lingkungan, dan prasarana fisik sekolah gedung sekolah, dan perlengkapan lainnya.
2.      Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan.
3.      Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa, guru, non teaching specialist, dan tenaga administrasi.
4.      Nilai-nilai moral, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.



C.    Mengembangkan Kultur Masyarakat Sekolah
Pendekatan budaya untuk mengembangkan atau meningkatkan kinerja sekolah akan lebih efektif jika dibandingkan dengan pendekatan struktural (Sastrapratedja Dinamika Pendidikan, 2001:1). Pendekatan budaya dengan pusat perhatian pada budaya keunggulan (culture of excellence) menekankan pengubahan pada pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga sekolah. Pendekatan budaya dalam rangka pengembangan budaya sekolah dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan atau orientasi :
1.      Pembentukan tim kerja dari berbagai unsur dan jenjang untuk saling berdialog dan bernegosiasi. Tim ini terdiri dari pimpinan sekolah, guru, konselor, karyawan administrasi.
2.      Berorientasi pada pengembangan visi. Pendekatan visioner menekankan pandangan kolektif mengenai yang ideal.
3.      Hubungan kolegial. Melalui kolegialitas tim, akan muncul bagaimana sikap saling menghargai dan memperkuat identitas kelompok, bersama-sama dan saling mendukung.
4.      Kepercayaan dan dukungan. Saling percaya (trust) dan dukungan (support) adalah esensial bagi bekerjanya organisasi. Tim dapat bekerja secara sinergis dan dinamik jika dua unsure tersebut ada.
5.      Nilai dan kepentingan bersama. Tim harus dapat mendamaikan berbagai kepentingan. Menjadi tugas pimpinan untuk merekonsiliasikan kepentingan.
6.      Akses pada informasi. Mereka yang bekerja dalam organisasi hanya akan dapat menggunakan kemampuannya secara efektif jika mereka dapat memperoleh akses pada informasi yang dibutuhkan.
7.      Pertumbuhan sepanjang hidup. Lifelong learning dibutuhkan dalam dalam dunia yang berubah dengan pesat.
Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk menghidupkan kultur kelas/sekolah yang kondusif bagi pendidikan nilai di sekolah :
1.      Hadapi masalah/Problem Solving
Murid diajak berdiskusi untuk memecahkan suatu maslaah konkrit.
2.      Reflective Thinking/Critical Thinking
Murid secara pribadi atau kelompok diajak untuk membuat catatan refleksi atau tanggapan atas suatu artikel, peristiwa, kasus, gambar, foto, dan lain-lain.
3.      Dinamika kelompok (Group Dynamic)
Murid banyak dilibatkan dalam kerja kelompok secara kontinyu untuk mengerjakan suatu proyek kelompok.
4.      Membangun suatu komunitas kecil (Community Building)
Murid satu kelas diajak untuk membangun komunitas atau masyarakat mini dengan tatanan dan tugas-tugas yang mereka putuskan bersama secara demokratis.
5.      Membangun sikap bertanggung jawab (Responsibility Building)
Murid diserahi tugas atau pekerjaan yang konkrit dan diminta untuk membuat laporan sejujur-jujurnya.
Pada sumber lain, dijelaskan pula bahwa banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah, karena sekolah adalah ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut. Contoh nilai-nilai sosial budaya yang harus ditanam pada masyarakat sekolah sekolah
1.      Kebiasaan menjaga kebersihan.
2.      Etika. Adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain. Kita hidup tidak sendirian, dilahirkan oleh dan dari orang lain dan kemudian hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu, kita harus hidup beretika, menghormati diri sendiri dan orang lain.
3.      Kejujuran. Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain.
4.      Kasih sayang. Mengutip pandangan guru besar IKIP Surabaya, yang menyatakan bahwa ada tiga landasan pendidikan yang harus dibangun, yaitu (1) kasih sayang, (2) kepercayaan, dan (3) kewibawaan. Menurut beliau, kasing sayang telah melahirkan kepercayaan dan kepercayaan akan menghasilkan kewibawaan.
5.      Mencintai belajar. Learning how to learn, ternyata akan jauh lebih penting ketimbang bersusah payah menghafalkan bahan ajar yang selalu akan terus bertambah itu. Dari sini lahirlah pendapat bahwa belajar konsep jauh lebih penting daripada menghafalkan fakta dan data.
6.      Bertanggung jawab. Sering kali kita menuntut hak ketimbang tanggung jawab. Itulah sebabnya maka kita harus memupuk rasa tanggung jawab ini sejak dini ini di lembaga pendidikan sekolah, bahkan dari keluarga.
7.      Menghormati hukum dan peraturan. Sering kita menghormati hukum dan peraturan karena takut kepada para penegak hukum. Kita mematuhi hukum dan perundang-undangan karena takut terhadap ancaman hukuman. Seharusnya, kita mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukup dan peraturan itu adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.
8.      Menghormati hak orang lain. Kita masih sering membeda-bedakan orang lain karena berbagai kepentingan. Kita tidak menghargai bahwa sebagian dari apa yang kita peroleh adalah hak orang lain. Kita masih lebih sering mementingkan diri sendiri ketimbang memberikan penghargaan kepada orang lain. Penghargaan kepada orang lain tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan budaya.
9.      Mencintai pekerjaan. Pekerjaan adalah bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak hidup. Oleh karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang pentingnya menghargai pekerjaan.
10.  Suka menabung. Memang kita sering memperoleh hasil pas-pasan dari hasil pekerjaan kita. Tetapi, yang lebih sering, kita mengikuti pola hidup ”lebih besar tiang daripada pasak”. Kita masih jarang memiliki semangat menabung untuk masa depan.
11.  Suka bekerja keras. Ngobrol dan duduk-duduk santai adalah kebiasaan lama buruk kita. Untuk ini, suka bekerja harus menjadi bagian dari pendidikan anak-anak kita di sekolah dan di rumah.
12.  Tepat waktu. Mulai menanam benih-benih menghargai waktu di ladang sekolah. Sudah barang tentu masih banyak lagi nilai-nilai sosial budaya yang harus kita tanam melalui ladang lembaga pendidikan sekolah. Nilai-nilai sosial budaya tersebut harus dapat kita tanam dan terus kita pupuk melalui proses pendidikan dan pembudayaan di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam semua kegiatan tersebut, murid dan juga gurunya akan mendapat kesempatan untuk banyak berinteraksi dan mengalami nilai-nilai dalam berbagai bentuknya yang konkrit, kontekstual, dan relevan bagi hidup mereka. Hal itu sekaligus akan membentuk dan mengembangkan kepribadian dalam hidup mereka dari dalam, dari yang rohani.
Selain itu yang juga perlu diperhatikan untuk pengembangan nilai dan moral adalah :
1.      Para pendidik terlebih dahulu harus tahu dan jelas akan akal budinya, memahami dengan hatinya nilai-nilai apa saja yang akan diajarkan.
2.      Para pendidik mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik dengan sentuhan hati dan perasaan, melalui contoh-contoh konkrit dan sedapat mungkin teladan si pendidik sehingga peserta didik dapat melihat dengan mata kepala sendiri alangkah baiknya nilai itu, misalnya melalui metode problem solving, value clarification technique, dIl.
3.      Membentu peserta didik untuk mengintemalisasikan nilai-nilai tersebut tidak hanya dalam akal budinya, tetapi terutama dalam hati sanubari si peserta didik sehingga nilai-nilai yang dipahaminya menjadi bagian dari seluruh hidupnya. Dalam tahap ini diharapkan peserta didik merasa memiliki dan menjadikan nilai tersebut sebagai sifat dan sikap hidupnya.
4.      Peserta didik yang telah merasa memiliki sifat-sifat dan sikap hidup sesuai dengan nilai-nilai tersebut didorong dan dibantu untuk mewujudkan atau mengungkapkannya dalam tingkah laku hidup sehari-hari.
Jika dalam praktik di masyarakat umum sendiri menunjukkan adanya berbagai tindakan yang mencerminkan krisis moral, tentunya sulit bagi para pendidik di sekolah untuk melakukan penyemaian nilai-nilai moral secara efektif. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai moral telah dilecehkan di masyarakat. Bagaimana mengembangkan kultur sekolah dalam masyarakat seperti itu ? Tanpa adanya dukungan dari masyarakat, kultur sekolah yang kondusif bagi penyemaian nilai-nilai moral yang dengan susah payah dikembangkan di sekolah bagaikan angin lalu saja. Namun walaupun begitu, kiranya upaya pengembangan moral melalui kultur sekolah tetap harus diupayakan.

D.    Peningkatan Mutu Sekolah
Peningkatan mutu sekolah tentunya tidak berbeda jauh dengan langkah-langkah bagaimana mengembangkan kultur sekolah.Karena pada dasarnya sekolah yang memiliki kultur yang berkembang dengan baik juga akan memiliki kualitas yang baik pula . Dan kultur sekolah, proses belajar mengajar dan realitas sekolah lah yang menentukan mutu pendidikan didalam sekolah tersebut.
Selanjutnya untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim ( 2007 : 56 ), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan :
  1. Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
  2. Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa .
  3. Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
  4. Kurikulum; sdanya kurikulum yang ajeg / tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan ) dapat dicapai secara maksimal;
  5. Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat ) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan / instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja
Berdasarkan pendapat diatas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork ) yangn saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals ) akan tercipta dengan baik.
Secara umum untuk meingkatkan mutu pendidikan harus diawali dengan strategi peningkatan pemerataan pendidikan, dimana unsure makro dan mikro pendidikan ikut terlibat, untuk menciptakan (Equality dan Equity ) , mengutip pendapat Indra Djati Sidi ( 2001 : 73 ) bahwa pemerataan pendidikan harus mengambil langkah sebagai berikut :
  1. Pemerintah menanggung biaya minimum pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa.
  2. Optimalisasi sumber daya pendidikan yang sudah tersedia, antara lain melalui double shift ( contoh pemberdayaan SMP terbuka dan kelas Jauh )
  3. Memberdayakan sekolah-sekolah swasta melalui bantuan dan subsidi dalam rangka peningkatan mutu embelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia.
  4. Melanjutkan pembangunan Unit Sekolah Baru (USB ) dan Ruang Kelas Baru (RKB ) bagi daerah-daerah yang membutuhkan dengan memperhatikan peta pendidiakn di tiap –tiap daerah sehingga tidak mengggangu keberadaan sekolah swasta.
  5. Memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, masyarakat terisolasi, dan daerah kumuh.
  6. Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut serta mengangani penuntansan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Sedangkan peningkatan mutu sekolah secara umum dapat diambil satu strategi dengan membangun Akuntabilitas pendidikan dengan pola kepemimpinan , seperti kepemimpinan sekolah Kaizen ( Sudarwan Danim, 2007 : 225 ) yang menyarankan :
  1. Untuk memperkuat tim-tim sebagai bahan pembangun yang fundamental dalam struktur perusahaan
  2. Menggabungkan aspek –aspek positif individual dengan berbagai manfaat dari konsumen
  3. Berfokus pada detaiol dalam mengimplementasikan gambaran besar tentang perusahaan
  4. Menerima tanggung jawab pribadi untuk selalu mengidentifikasikan akar menyebab masalah
  5. Membangun hubungan antarpribadi yang kuat
  6. Menjaga agar pemikiran tetap terbuka terhadap kritik dan nasihat yang konstruktif
  7. Memelihara sikap yang progresif dan berpandangan ke masa depan
  8. Bangga dan menghargai prestasi kerja
  9. Bersedia menerima tanggung jawab dan mengikuti pelatihan











BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
        Kepemimpinan kepala sekolah dan kreatifitas guru yang professional, inovatif, kreatif, merupakan salah satu tolok ukur dalam Peningkatan mutu pembelajaran di sekolah ,karena kedua elemen ini merupakan figure yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran , kedua elemen ini merupakan figur sentral yang dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat (orang tua ) siswa , kepuasan masyarakat akan terlihat dari output dan outcome yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang baik kepada masyarakat maka mereka tidak akan secara sadar dan secara otomatis akan membantu segala kebutuhan yang di inginkan oleh pihak sekolah,sehingga dengan demikian maka tidak akan sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.
Pendidikan merupakan proses mempersiapkan generasi muda untuk hidup di masa yang akan datang. Tanpa bermaksud mengecilkan berbagai pihak yang telah mengupaya perbaikan pendidikan, kiranya perubahan-perubahan masih perlu terus dilaksanakan. Upaya yang telah dilakukan selama ini, lebih banyak menyangkut pada proses pembelajaran di kelas, kepemimpinan sekolah, sarana prasarana, dan manajemen pendidikan. Pembenahan pendidikan di sekolah melalui kultur sekolah, belum banyak diperhatikan dan dikembangkan. Padahal, pengembangan kultur sekolah tidak saja bermanfaat bagi peningkatan prestasi siswa di bidang akademik melainkan juga prestasi non akademik. Pendidikan merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat setempat, juga sebagai agen untuk mempertahankan nilai-nilai lama (conservative/maintenance learning), sekaligus mentransmisikan nilai-nilai baru (transformative /innovative learning). Pendidikan di sekolah dalam konteks ini, merupakan salah satu institusi yang berperan menanamkan nilai-nilai yang mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas sekolah. Proses pembelajan di sekolah merupakan sarana efektif untuk menanamkan tidak hanya pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) saja, melainkan juga aspek afektif, yang meliputi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Semua warga sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kultur sekolah untuk mewujudkan pendidikan yang baik (good school/effective school).

DAFTAR PUSTAKA

Sairin, Sjafri. 2003. Kultur Sekolah dalam Era Multikultural. Makalah Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Pengembangan Kultur Sekolah, Pascasarjana, UNY, 12 Juni.
Vembriarto, St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo